Perceraian kedua orangtua pada saat usia Alicia Brown masih 10 tahun, membuat kehidupannya menjadi kacau balau. Ia tumbuh menjadi anak yang liar dan menjalani kehidupan yang serba bebas, senang melakukan hal-hal yang merusak dan menyakiti dirinya sendiri.
"Keluarga kami menganut agama Kristen Baptis, tapi kami bukan keluarga yang sangat religius. Kami tidak rutin pergi ke gereja," ungkap Alicia mengawali cerita perjalanannya menjadi seorang mualaf.
Ketika orangtuanya bercerai, Alicia tinggal bersama ayahnya yang suka berlaku kasar padanya dan seorang adik lelakinya. "Tapi pada adik bungsu saya, ayah tidak terlalu kasar. Ayah berlaku kasar pada saya, mungkin karena saya saya membuatnya teringat pada ibu saya," ujar Alicia.
Pada saat usianya 16 tahun, Alicia tinggal bersama kakek-neneknya. Di usia remaja itu, Alicia menjalani kehidupan yang kacau. Ia membenci dirinya sendiri dan segala sesuatu di sekelilingnya. Ia merasa selalu ingin melakukan apa saja yang bisa ia lakukan untuk menyakiti dirinya sendiri.
"Rasanya senang saja, dan saya pun mulai mengkonsumsi narkoba, alkohol, melakukan sex bebas dan apa saja yang bisa memuaskan saya secara emosional," tutur Alicia.
Ia cuma setahun tinggal bersama kakek-neneknya. Setelah itu Alicia tinggal bersama ibunya. Ia berpikir, bersama ibunya, hidupnya akan berbeda, sebuah awal baru. Tapi perkiraannya salah. Alicia tetap menjalani kehidupannya yang kelam, bahkan menjadi lebih buruk.
Puncaknya ketika Alicia hamil, padahal waktu itu ia masih sekolah di sekolah menengah atas. Awalnya, Alicia merasa tenang-tenang saja, sampai anak perempuannya lahir. Tapi Alicia dan lelaki yang juga ayah dari putrinya itu, tenggelam dalam narkoba. Mereka mengkonsumsi mariyuana, bahkan kokain. Setelah tiga bulan, Alicia merasa kehilangan segalanya, sehingga ia memutuskan untuk berhenti menggunakan narkoba.
"Saya berharap, ayah putri saya juga berhenti menggunakan narkoba, tapi ternyata tidak," imbuhnya.
Alicia akhirnya meninggalkan lelaki itu untuk memberinya kesempatan berubah, lalu kembali lagi karena ia mencintai dan peduli dengan keadaan ayah anak perempuannya itu. Itu terjadi beberapa kali, tapi perubahan yang ia harapkan tak pernah terjadi.
Sementara itu, anak perempuan mereka didiagnosa mengalami Sindrom Guillain-Barré, penyakit yang ketika sistem kekebalan tubuh seseorang menyerang sistem syarat pusat, maka otot-otot tubuhnya menjadi sangat lemah. Meski demikian, kondisi putrinya tidak terlalu buruk, karena masih bisa menggerakkan tangannya.
Saat bolak-balik ke rumah sakit untuk perawatan putrinya itulah Alicia bertemu seorang muslim bernama Hayat, dan beberapa muslim lainnya. Ia bertanya banyak hal tentang agama dan semua yang berkaitan dengan itu.
Setelah tahu tentang Islam, Alicia berpikir bahwa banyak orang yang selama ini salah informasi tentang Islam. Awalnya, Alicia juga berpikir bahwa Islam seperti agama Hindu, bahwa agama Islam identik dengan segala sesuatu yang berasal dari Timur Tengah. Ketika teman-teman muslim yang dikenal Alicia di rumah sakit bercerita banyak tentang Islam, Alicia juga jadi tahu, ada beberapa hal dalam Islam yang sama dengan agama Kristen yang dulu dianutnya. Bedanya, sejak kecil, yang ia tahu Yesus (Nabi Isa) wafat disalib dan Yesus disebut sebagai anak Tuhan.
Perbedaan-perbedaan itu yang akhirnya membuka pemahaman Alicia mengapa banyak gereja yang meski sama-sama berbasis Kristen, tapi menganut keyakinan Kristen yang berbeda-beda, mengapa Injil diterjemahkan berkali-kali dengan versi yang berbeda-beda pula, mengapa setiap aliran Kristen memberikan jawaban berbeda atas pertanyaan mengapa Yesus harus disalib, yang kadang membuat Alicia bingung.
"Tapi ketika saya mengetahui ajaran Islam, saya lihat hanya ada satu Quran. Semua orang tahu apa isinya. Al-Quran dibaca dalam bahasa Arab dan artinya diterjemahkan dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Inggris, sehingga Anda bisa membaca apa isinya dan mempelajarinya. Al-Quran lebih mudah dipahami. Itulah yang membuat saya tertarik," papar Alicia.
Ia mengungkapkan, setelah tahu banyak tentang Islam dan membaca isi Al-Quran, ia sadar bahwa Islam adalah jalan yang ditujunya. Tapi, saat itu masih ada rasa takut dalam hatinya untuk menolak keyakinan yang sejak kecil ditanam dalam pikirannya bahwa Yesus adalah anak Tuhan. Dalam agama Kristen yang dulu dianutnya, membantah keyakinan bahwa Yesus anak Tuhan, adalah dosa besar dan tak termaafkan.
Namun Alicia akhirnya bisa mengatasi ketakutan itu, dan membulatkan tekadnya untuk memeluk Islam. Ia banyak berdiskusi dengan Hana, ibu Hayat dan berdoa sepanjang malam, "Ya Tuhan, berilah aku petunjuk, petunjuk yang jelas agar aku tahu kemana aku harus menuju ...."
Ibu Hayat lalu membacakan ayat-ayat Quran dan Alicia membaca terjemahannya. "Saya tidak ingat nama suratnya, tapi ayat itu bercerita tentang Yesus (Nabi Isa) yang mengatakan bahwa ia bukan Tuhan," ujar Alicia.
"Perasaan saya membuncah membaca arti ayat itu, dan saya mulai menangis, karena saya merasa inilah tanda-tanda buat saya. Inilah yang selama ini saya cari, dan Tuhan memberikannya pada saya," tutunya.
Alicia menyatakan, ia memeluk Islam karena merasa Islam sangat spesial baginya. "Tidak setiap hari kita mendapatkan pertanda dari-Nya. Saya benar-benar sangat bahagia. Saya merasakan dukungan dan limpahan cinta, karena sebelumnya saya merasa tak ada orang yang bahagia untuk saya," tukas Alicia.
Alicia Brown, perempuan asal Texas, AS itu bersyahadat tepat di malam tahun baru kemarin. Ia masih seorang mualaf, namun ia merasa tenang sekarang di bawah naungan Islam.
"Saya merasa sebuah beban berat terangkat dari kehidupan saya. Saya merasa lebih bisa bernapas lega dibandingkan sebelumnya. Saya tidak perlu khawatir dengan apapun lagi. Saya telah terlahir kembali," tandas Alicia yang mengucap syukur karena telah Allah Swt. telah menunjukkannya jalan yang lurus, jalan Islam. (ln/oi)
Senin, 02 Januari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar