Minggu, 11 Desember 2011

Khadija Margarid: Gunung Sinai Mengantarnya pada Hidayah Islam

Januari 2004, seperti hari-hari kemarin selama sepekan ini, Margarid sibuk dengan pekerjaan, menyiapkan diskusi untuk desertasi untuk gelar masternya, dan menyusun persiapan perjalanan ke Nepal untuk memuaskan keinginan menyenangkan diri sendiri dan ingin merasakan diri sebagai orang asing di negeri orang, karena sudah dua tahun ini ia tidak liburan.

Margarid ingin sekali mendengar dialek bahasa-bahasa tradisional orang Nepal, mengamati kebudayaan, memahami agama mereka, kebiasaan makan, gaya rumah dan adat istiadatnya. Sudah lama Margarid tertarik dengan ajaran Budha, dan Nepal menjadi tempat yang cocok untuk memenuhi rasa keingintahuannya tentang komunitas masyarakat Budha.

Sebulan sebelumnya, Margarid menghadiri upacara keagamaan di sebut kuil Budha di Lisbon. Itu dilakukannya sebagai persiapan dirinya sendir karena ia berencana untuk menetap di Nepal. Margarid ingin menyaksikan sendiri bagaimana umat Budha menuunaikan ibadahnya dipimpin langsung oleh tokoh spiritual agama Budha, Dalam Lama dan jika mungkin, Margarid juga ingin berlajar teknik meditasi--sesuatu yang ia pikir akan bermanfaat saat mengalami masa-masa sulit, dan Margarid tahu pada suatu masa ia akan mengalaminya.

"Meditasi mungkin bisa membantuku untuk mencari jalan keluar, untuk memberikan pencerahan. Tapi ada rasa takut yang menyerang, karena aku punya keluarga, punya teman, dan sebagai psikolog, aku punya tugas dimana saya juga harus bertanggung jawab pada orang lain," kata Margarid.

Ia menentukan tanggal yang tepat dan mencari tahu harga tiket untuk perjalanan ke Nepal. Margarid berencana untuk naik pesawat ke Delhi, India dan dari Delhi ia akan melanjutkan perjalanan dengan bis ke Kathmandu. Pertimbangannya, untuk menekan biaya perjalanan sekaligus bertemu dan berinteraksi dengan masyarakat lokal merupakan pengalaman yang lebih menarik baginya.

"Tapi ternyata semua tiket sudah dipesan, dan tidak ada yang bsia dilakukan selain menunggu," ujar Margarid.

Sebulan penuh menunggu tiket perjalanan membuat Margarid gelisah, seperti ada sesuatu yang memaksa dirinya tapi ia sendiri tak mengertai sesuatu itu apa. Hari-hari berlalu, situasi pun berubah. Ibu Margarid tiba-tiba membatalkan rencana perjalanannya ke Mesir dan menawarkan Margarid untuk menggantikannya.

Ketika itu, Margarid hanya menjawab "tidak tahu" apakah ia akan menggantikan perjalanan ibunya ke Mesir. Ia merasa senang ada alternatif lain, tapi Margarid merasa tawaran ibunya tidak penting karena pikirannya sudah tertaut untuk pergi ke Nepal. Hingga suatu ketika, saat sedang melakukan kegiatan rutinnya, Margarid merasa pikirannya begitu jernih dan memikirkan kemungkinan pergi ke Mesir saja, dan bukan ke Nepal.

"Ini ada perjalanan dalam hidupku, ke gurun pasir, menyeberangi Sinai dan mengunjungi Yerusalem," ungkap Margarid yang merasa tiba-tiba darahnya berdesir dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Aku akan pergi (ke Mesir)," tekad Margarid akhirnya.

Ia lalu mulai mengikuti pertemuan sebuah kelompok agama Katolik dan mulai menekuni ajaran agamanya itu. Di saat yang sama, Margarid juga membeli dan mulai membaca Al-Quran untuk mengetahui bagaimana konsep ketuhanan para penganut agama Islam.

Selama ini, kata agama dan kata Tuhan menjadi kosakata yang jauh dalam kehidupan Margarid. Sejak ia remaja dan saat kuliah di Lisbon, Margarid mulai menikmati kesempatan untuk bersenang-senang dengan teman sebayanya termasuk minum minuman keras.

Bulan Mei 2004, Margarid akhirnya menginjakkan kakinya di Mesir. Hari itu, bertepatan dengan hari kenaikan Isa Al-Masih, Margarid berada di puncak pegunungan Sinai, menghabiskan waktunya untuk berdoa, membaca Alkitab dan mencoba lebih mendekatkan diri pada Tuhannya. Margarid merasa bahagia, tapi rasa takut mulai muncul karena di puncak gunung Sinai itu hanya ada dia seorang dan beberapa orang Arab Badui.

Dalam kesendiriannya itu, Margarid merasa mendengar sebuah melodi yang dialunkan dengan sangat pelan dan syahdu. Ia membuka telinga lebar-lebar dan mencoba memfokuskan perhatiannya pada suara yang entah darimana datangnya. "Ya Tuhan, aku belum pernah melihat atau mendengar suara malaikat? Tapi apakah itu suara malaikat?" Margarid bertanya-tanya dalam hati karena tidak mampu mengindentifikasi suara apa yang didengarnya itu, yang memunculkan rasa damai dan nyaman dalam hatinya.

Setelah dari Sinai, Margarid mengunjungi kota-kota di Mesir, dimana ia melihat kaum Muslimin menyempatkan diri salat, meski di jalan, ketika waktu salat telah tiba. Margarid berpikir orang-orang itu sangat rendah hati. "Apa sih ajaran agama mereka?" tanya Margarid dalam hati.

Margarid masih terus mengingat pengalamannya saat di gunung Sinai. Ia merasa Tuhan telah memberikan berkah yang berharga, yang membuatnya merasa kehilangan sesuatu setiap saat memandang ke arah gunung Sinai.

"Saya merasa ada yang hilang, dan tiap kali itu terjadi, membuat saya merasa sedih," ujar Margarid.

Butuh waktu buat Margarid untuk memahami apa yang terjadi. "Sepanjang hidup, saya tidak pernah berlutut di hadapan orang atau bersujud untuk mengungkapkan terima kasih pada seseorang, atau meminta sesuatu pada seseorang," tutur Margarid.

"Tuhan telah memberitahukan saya bahwa Dia-lah satu-satunya yang berhak jika saya harus berlutut," sambungnya.

Apa yang dialaminya di gunung Sinai dan keingintahuannya melihat muslim Mesir yang salat di jalan saat waktu salat tiba, mendorong Margarid untuk mengenal Islam. Ia meneruskan membaca terjemahan Al-Quran, sampai ia kembali ke Portugal dan meneruskan aktivitasnya sehari-hari.

Bulan Januari 2005, Margarid kembali mengunjungi Kairo, Mesir. Kali ini, ia datang dengan perasaan yang berbeda. Pada suatu malam, dari lubuk hatinya yang paling dalam dan dengan suara yang bergetar, Margarid mohon ampun dan meminta agar Tuhan menerima dirinya. Itulah saat Margarid berikrar bahwa "tiada tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah". Ia lalu menambahkan nama Islami "Khadija" di depan namanya. (kw/TTT)

0 komentar:

Posting Komentar

    Blogger news

    Blogroll

    About